Kustomisasi

Ekonomi Kreatif Kota Pekanbaru


Defisitnya anggaran di Pemko Pekanbaru tahun 2016 ini seharusnya membuat Pemerintah Kota sadar untuk gencar dan serius menggarap program-program yang menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD).

Salah satu potensi yang dapat dikembangkan adalah, Ekonomi Kreatif. Ini sejalan dengan keinginan pemerintah pusat melalui Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Badan Ekonomi Kreatif. Presiden Joko Widodo dalam arahannya pada Agustus tahun lalu bahkan menyatakan bahwa industri kreatif akan menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia pada tahun 2030 mendatang.

Perkembangan yang pesat ditunjukkan dari data Badan Pusat Statistik (BPS), dimana, sektor ekonomi kreatif tumbuh 5,76 persen atau di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional 5,74 persen. Nilai tambahnya mencapai Rp 641,8 triliun atau tujuh persen dari produk domestik bruto (PDB) nasional. Penyerapan tenaga kerja industri kreatif mencapai 11,8 juta orang atau 10,7 persen dari angkatan kerja nasional. (Koran Republika, 2014)

Sikap Pemko Pekanbaru

Jika merujuk pada pernyataan Mari Elka Pengestu (Tempo, 2014) tentang tujuh isu strategis yang menjadi potensi maupun tantangan dalam pengembangan ekonomi kreatif, seperti; ketersediaan sumber daya kreatif (orang kreatif) profesional dan kompetitif; ketersediaan sumber daya alam berkualitas, beragam, dan kompetitif; sumber daya budaya yang dapat diakses secara mudah; serta industri yang berdaya saing, tumbuh, dan beragam, maka dapat dikatakan perhatian Pemerintah Kota Pekanbaru dalam pengembangan Ekonomi Kreatif sangat minim sekali.

Untuk pariwisata saja, Ibnu Masud selaku ketua ASITA dan Kepala Dinas Disparekraf Riau, Fahmizal Usman beberapa waktu lalu pernah menyampaikan bahwa Pemko Pekanbaru lemah dan kurang merespon pengembangan pariwisata. Lantas, bagaimana nasib pengembangan ekonomi kreatif penunjang pariwisata ? dan, bagaimana pula nasib sektor ekonomi kreatif lainnya?.

Sejalan dengan pernyataan ketua ASITA, maka Ikatan Arsitek Indonesia propinsi Riau juga merasakan hal yang sama. Tidak ada upaya serius dari pemko Pekanbaru dalam pengembangan arsitektur di kota Pekanbaru. Apalagi, melibatkan organisasi arsitek sekelas IAI. Kerjasama dalam pengembangan arsitektur hanya datang dari Dispenkraf Propinsi Riau.

Seperti diketahui, ada 15 jenis ekonomi kreatif, yakni periklanan (advertising), arsitektur, pasar barang seni, kerajinan (craft), desain, fesyen (fashion), video, film dan fotografi, permainan interaktif (game), musik, seni Pertunjukan (showbiz), penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak (software), televisi dan radio (broadcasting), riset dan pengembangan (R and D) dan kuliner yang bisa dikembangkan oleh pemerintah kota Pekanbaru.

Dalam rencana pembangunan, pemerintah kota perlu mengkaji jenis ekonomi kreatif atau industri kreatif yang cocok dikembangkan di kota bertuah ini. Kemudian melakukan penguatan ekosistem ekonomi kreatif lewat pendidikan, pembangunan informasi dan infrastruktur teknologi, akses permodalan, kerja sama antar lembaga,organisasi profesi dan komunitas, regulasi serta perlindungan hak kekayaan intelektual.

Jika pemerintah memprioritaskan berjalannya program-program sektor ekonomi kreatif maka ini akan menjadi salah satu sumber pendapatan asli daerah dan cara mengurangi angka pengangguran.

Arah pembangunan yang benar dibuktikan dengan perhatian terhadap kesejahteraan masyarakat. Pendapatan dan keuangan kota adalah alat untuk mewujudkannya melalui program-program pro rakyat. Tugas pemerintah kota bukan menghamburkan uang di kegiatan yang tidak tepat sasaran dan berbiaya mahal lantas terhenti.

>
Categories:
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment