Kustomisasi

Bagaimana Arsitektur Memberi Efek Rasa dan Kreatifitas




Tahun 1950an, seorang Doktor bernama Jonas Salk pemenang penghargaan bidang biologi, bekerja pada laboratorium dibasemen yang gelap, kota Pittsburgh, untuk mencari obat bagi penyembuhan penyakit polio. Ketika perkembangan penelitian tersebut berjalan lamban, Salk menjernihkan pikirannya dengan melakukan perjalanan ke kota Assisi, Italia. Disana Salk menghabiskan waktunya dalam biara peninggalan abad ke-13, berjalan santai di antara kolom-kolom dan berkeliling halaman. Salk akhirnya mendapatkan inspirasi baru, dan salah satunya akan membawa terobosan pada kesuksesan vaksin polio. Salk yakin, inspirasinya tersebut berasal dari suasana yang kontemplatif. Dia percaya kekuatan arsitektur dapat mempengaruhi pikiran. Selanjutnya, Salk bekerja sama dengan arsitek terkenal Louis Kahn membangun Salk Institute di La Jolla, California, sebuah fasilitas ilmiah yang bertujuan merangsang lahirnya terobosan dan kreativitas.

Dalam jangka panjang, intuisi seorang arsitek pada rancang bangunan dapat mempengaruhi pikiran, perasaan dan perilaku. Setelah setengah abad kunjungan inspiratif Salk, para peneliti perilaku membuktikannya secara empiris. Mereka menggali petunjuk menarik tentang bagaimana merancang ruang yang intim yang mempromosikan kreativitas, membuat seseorang fokus, serta memunculkan perasaan rileks. Bahkan, lembaga seperti Academy of Neuroscience for Architecture di San Diego mendorong penelitian antar disiplin ilmu tentang bagaimana lingkungan arsitektur direncanakan dapat mempengaruhi pikiran. Saat ini, beberapa sekolah arsitektur juga telah menambahkan kelas pengantar ilmu saraf pada mata kuliah mereka.

Perpaduan ilmu ini telah mendorong disain menjadi lebih mutakhir, contohnya rancangan tempat tinggal sekaligus tempat perawatan bagi penderita demensia. Disain ulang Kingsdale School, London, yang dibantu psikolog agar struktur bangunan yang baru dapat mempromosikan ikatan sosial; mencakup unsur-unsur yang dapat mendorong kewaspadaan dan kreativitas. "Semua ini masih dalam tahap awal," ujar arsitek David Allison, sekaligus kepala program Arsitektur + Kesehatan di Clemson University. "Penelitian neuroscience memilki arti penting untuk memberi kita wawasan lebih baik tentang bagaimana dampak membangun lingkungan terhadap kesehatan dan kesejahteraan kita, bagaimana keberadaan kita dalam suatu lingkungan dan bagaimana kita dapat merasakan sesuatu didalam lingkungan."

Penelitian Lanjut

Penyelidikan resmi tentang interaksi manusia terhadap lingkungan binaan dimulai pertamakali tahun 1950-an, ketika sekelompok peneliti menganalisis desain rumah sakit, khususnya rumah sakit jiwa dalam mempengaruhi perilaku dan dampaknya bagi kesehatan pasien. Pada tahun 1960 dan 1970-an bidang yang dikenal sebagai psikologi lingkungan kemudian berkembang.

"Ada kesadaran sosial yang berkembang dalam arsitektur masa itu," kata John Zeisel, sosiolog Universitas Columbia yang juga presiden Hearthstone Alzheimer Care, disainer fasilitas khusus bagi penderita demensia. Para arsitek mulai bertanya ke diri mereka tentang, "'Apa saja yang perlu kita cari tahu ‘dari dan tentang orang-orang’ saat mendisain bangunan yang mampu menjawab sebuah kebutuhan?' tambah Zeisel.

Perkembangan ilmu otak akhir abad ke-20 memberi ruang bagi teknologi, peralatan dan teori. Para peneliti mulai mempertimbangkan "bagaimana metode neuroscience dan pemahaman terdalam otak dimanfaatkan untuk memberitahu kita tentang cara merancang ruang dan bangunan" kata Eve Edelstein, seorang neuroscientist tamu di University of California dan dosen di New School of Architecture and Design, San Diego.

Kemudian, penelitian baru tentang pengaruh aspek lingkungan terhadap kreativitas muncul. Tahun 2007 Joan Meyers-Levy, seorang profesor pemasaran di University of Minnesota, melaporkan bahwa tinggi plafon/ langit-langit ruang mempengaruhi cara berfikir seseorang. Secara acak profesor menempatkan 100 peserta dalam ruang dengan tinggi plafon antara 245 cm sampai 305 cm dan meminta mereka berkelompok untuk memilih sendiri permainan dari 10 kategori olahraga yang tersedia. Kelompok di ruang plafon tinggi menunjukkan keinginan tidak terbatas seperti "keinginan memainkan olahraga menantang" atau ‘memainkan jenis permainan olahraga sesuai keingin mereka’, sedangkan kelompok di ruang plafon rendah, berikir terbatas dan lebih konkret, fokus terhadap jumlah peserta dalam sebuah tim. “Jadi, tinggi plafon/langit-langit mempengaruhi cara Anda memproses informasi," kata Meyers-Levy. "Dalam ruang plafon rendah, Anda akan terfokus pada rincian yang lebih spesifik."

Hasil yang menunjukkan plafon tinggi dapat membuat seseorang merasa secara fisik kurang dibatasi, membuat peneliti berpendapat bahwa plafon yang tinggi mendorong orang untuk berpikir lebih bebas dan menghasilkan hubungan yang lebih abstrak. Sementara di sisi lain, rasa terkurung akibat plafon rendah, menginspirasi orang agar lebih rinci, dan dalam kondisi tertentu penampilan mereka secara statistik lebih baik. "Hal ini sangat tergantung pada jenis tugas yang dilakukan diruangan itu," jelas Meyers-Levy.

Jika Anda berada di ruang operasi, plafon rendah lebih baik. Anda ingin agar ahli bedah mendapatkan rincian yang tepat. Demikian pula, loket pembayaran atau ruang keuangan dan ruang pembayaran. Dengan plafon ruang yang rendah maka kemungkinan efisiensi dapat tercapai, sedangkan untuk memproduksi karya seni lebih baik di sebuah studio yang terkesan megah. Menurut Meyers-Levy, seberapa tinggi efek rasa yang ditimbulkan sebuah ruang lebih penting dari sekedar mengukur ketinggian plafon saja. "Kami pikir Anda bisa mendapatkan efek tertentu dengan cara memanipulasi persepsi ruang," katanya. Dengan menggunakan cat berwarna-ringan, atau menempatkan cermin akan membuat ruangan terlihat lebih luas.

Pemandangan alam meningkatkan Fokus


Selain ketinggian plafon, view pada bangunan juga dapat mempengaruhi kecerdasan dan kemampuan berkonsentrasi penghuni. Meskipun jika menatap keluar jendela menunjukkan gejala gangguan, ternyata apabila pemandangan luar adalah lingkungan binaan yang di seting alami, seperti taman, lapangan atau hutan, justru dapat meningkatkan fokus.

Sebuah studi pada tahun 2000 yang dilakukan oleh psikolog lingkungan bernama Nancy Wells beserta rekannya di Cornell University, dengan cara mengikuti tujuh anak-anak berusia 12 tahun sebelum dan setelah keluarga mereka pindah rumah, memberikan hasil. Mereka mengevaluasi panorama dari jendela di setiap rumah lama dan baru.

Wells dan timnya menemukan anak-anak yang mendapatkan pengalaman berada dalam lingkungan alami akan mengalami peningkatan pada tes fokus. Percobaan lain menunjukkan bahwa mahasiswa yang berada di asrama dengan view kamar berupa pemandangan alam, memiliki skor tinggi karena kondisi mental mereka yang lebih fokus.

Ruang bermain hijau mungkin akan bermanfaat bagi siswa yang memiliki gangguan fokus seperti ADD (attention deficit disorder). Arsitek lansekap sekaligus peneliti William Sullivan dari University of Illinois beserta koleganya mempelajari 96 anak-anak dengan gangguan ADD. Para peneliti meminta orang tua menggambarkan kemampuan konsentrasi anak-anak mereka – katakan, pada pekerjaan rumah atau arah perkataan anak.

Setelah anak-anak terlibat dalam kegiatan memancing, sepak bola dan bermain video game di mana mereka terpapar beragam jenis tanaman hijau. "Para orang tua melaporkan bahwa gejala ADD menjadi parah setelah anak-anak tidak lagi berada di ruang pengamatan yang hijau," kata Sullivan.

Temuan tersebut mungkin hasil dari efek restorasi alam fikiran saat menatap pemandangan alam, ini sesuai dengan ide yang dikembangkan oleh psikolog Stephen Kaplan dan Rachel Kaplan, keduanya dari University of Michigan. Dalam teori mereka, saat dunia modern memberi pekerjaan-pekerjaan yang menimbulkan kelelahan mental, maka secara mudah memandang alam saja dapat mengistirahatkan pikiran. "Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa ketika seseorang melihat pemandangan alam, baik itu pemandangan alam yang nyata atau sebatas hasil proyeksi pada layar, kemampuan mereka untuk fokus meningkat." kata Stephen Kaplan.

Kondisi riil perkotaan dapat dipulihkan dengan rancangan alami, Sullivan menambahkan, bahwa manusia memiliki kecenderungan bawaan untuk merespon positif alam - penjelasan ini dijuluki hipotesis Biophilia. "Kami berkembang dalam lingkungan yang predisposisi untuk berfungsi secara efektif dalam ruang hijau," katanya. Pada Desember 2008 melalui paper di Psychological Science, Stephen Kaplan mengusulkan agar rancangan kota dapat menstimulasi masyarakat dengan menghadirkan kondisi alam – ditengah lalu lintas dan kerumunan orang– karena masyarakat kota membutuhkan lebih banyak kegiatan kognitif .

Menggunakan alam untuk meningkatkan fokus seharusnya memberi hasil pada nilai akademis siswa, menurut Kenneth C. Tanner, kepala Sekolah Design & Planning Laboratory University of Georgia pada sebuah studi yang dipublikasikan pada 2009. Dalam analisis mereka lebih dari 10.000 siswa kelas lima di 71 sekolah dasar Georgia, ditemukan bahwa siswa di ruang kelas yang memiliki view keluar jendela dengan luas minimal 15 meter, dapat melihat kebun, pegunungan dan elemen alam lainnya, memiliki skor tes kosa kata, seni bahasa dan matematika yang lebih tinggi daripada siswa tanpa pemandangan luas tersebut atau kelas yang view nya terbatas pada jalan, tempat parkir dan elemen perkotaan saja. (Emily Anthes | blog.ounodesign)

>
Categories:
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment